Alkisah, seorang bijak melakukan perjalanan yang cukup jauh dengan anaknya.
Karena perjalanan yang cukup jauh, maka membawa keledai sebagai alat
transportasi mereka. Sang bijak dan anaknya menunggangi keledai itu berdua dan
akhirnya sampai di suatu desa.
Di desa tersebut, perbuatan sang bijak dan
anaknya yang menunggangi keledai secara bersamaan mendapatkan komentar dari
seorang penduduk.
"Lihat, betapa zhalimnya lelaki itu, keledai yang kecil
mereka tunggangi berdua. Betapa jahat mereka mereka."
Mendengar hal
tersebut, sang bijak pun turun. Dia membiarkan anaknya berada di punggung
keledai sendirian. Mulailah dia berjalan di samping keledai hingga melewati desa
yang lain.
Di desa tersebut, terdengar lagi komentar yang lain dari
penduduk yang melihat mereka berdua.
"Lihat, betapa zhalim anak itu.
Ayahnya dibiarkan berjalan, sedangkan dia asyik berada di atas keledai. Sungguh
anak itu kurang ajar dan durhaka."
Tentu saja, sang anak tak mau
dikatakan sebagai anak yang kurang ajar. Dipersilahkannya ayahnya untuk naik ke
punggung keledai. Kemudian dia berjalan di samping keledai dan melanjutkan
perjalanan.
Ternyata perbuatan sang bijak dan anaknya, tetap mengundang
komentar dari penduduk desa di jalan yang mereka lewati. Kali ini sang bijak
yang mendapatkan komentar yang cukup pedas.
"Ayah yang sungguh tak punya
kasih dan sayang. Sungguh malang nasib anaknya, dia berjalan begitu jauh,
sementara ayahnya asyik menikmati perjalanan di punggung keledai."
Kali
ini sang bijak berkata kepada anaknya.
"Hai anakku, bagaimana kalau kita
berjalan saja tanpa ada seorang dari kita yang menaiki keledai. Mungkin, tak ada
lagi yang memberikan komentar atas tingkah laku kita." Kata sang bijak dengan
suara lembut kepada anaknya.
"Iya ayah." Jawab anaknya
setuju.
Mulailah mereka berjalan berdua tanpa menaiki keledai. Tapi
ternyata, tetap ada saja penduduk yang mengomentari tingkah mereka. Bahkan kali
ini mereka dikatakan sebagai orang bodoh.
"Bodoh, sungguh bodoh kalian
berdua. Punya keledai, malah kalian berjalan begitu jauh. Sungguh kalian tak
punya otak." Komentar penduduk desa tersebut.
Mendengar hal tersebut sang
bijak berkata kepada anaknya.
"Nak, sesungguhnya apapun yang kita lakukan
orang-orang akan tetap memberikan komentar kepada kita. Sesungguhnya ini menjadi
hikmah bagi kita, bahwa walaupun sebaik apapun perbuatan kita, tetap saja dalam
pandangan orang yang dengki akan terlihat buruk."
***
Dalam
kehidupan kita, kita bisa jadi berada dalam posisi sang bijak dan anaknya atau
para pemberi komentar. Bila kita dalam posisi sang bijak dan anaknya, bisa jadi
bila kita terus mendengarkan komentar negatif orang lain, maka kita tak akan
melanjutkan perjalanan dan kebaikan yang kita niatkan.
Tapi, yang paling
buruk adalah kita memasang posisi sebagai pemberi komentar. Seringkali kita
mendengar istilah NATO, No Action, Talk Only. Sudah tidak melakukan perbuatan
amal, malah mencela orang lain yang berbuat kebaikan, bahkan
mencegahnya.
Misalnya saja, ketika ita melihat sukarelawan yang memasang
simbol organisasinya ketika memberi bantuan kepada korban musibah, maka kita
asyik berkomentar dan membedah hatinya.
"Ah, pasti dia tidak ikhlas,
hanya ingin membuat organisasinya terkenal."
Atau ketika kita melihat
seseorang yang mengumumkan sedekahnya, malah kita menganggapnya riya. Padahal
kita sendiri tak ikut membantu baik secara harta dan fisik, dan juga tak ikut
bersedekah. Kita asyik mengomentari perbuatan seseorang, seakan-akan kita bisa
membedah hati mereka.
Maka bila kita tak bisa berbuat baik, setidaknya
kita jangan mencegah orang lain berbuat baik dengan komentar kita.
Dan
seandainya kita bisa memilih, maka pilihlah menjadi di posisi sang bijak dan
anaknya, bukan sang pengamat keledai. Karena terkadang apa yang kita pikirkan,
belum tentu sesuai dengan apa yang dialami oleh mereka yang kita
komentari.
Allahu a'lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar