Selasa, 28 Oktober 2014

Mungkin Kita Pengamat Keledai Itu ... .

Alkisah, seorang bijak melakukan perjalanan yang cukup jauh dengan anaknya. Karena perjalanan yang cukup jauh, maka membawa keledai sebagai alat transportasi mereka. Sang bijak dan anaknya menunggangi keledai itu berdua dan akhirnya sampai di suatu desa.

Di desa tersebut, perbuatan sang bijak dan anaknya yang menunggangi keledai secara bersamaan mendapatkan komentar dari seorang penduduk.

"Lihat, betapa zhalimnya lelaki itu, keledai yang kecil mereka tunggangi berdua. Betapa jahat mereka mereka."

Mendengar hal tersebut, sang bijak pun turun. Dia membiarkan anaknya berada di punggung keledai sendirian. Mulailah dia berjalan di samping keledai hingga melewati desa yang lain.

Di desa tersebut, terdengar lagi komentar yang lain dari penduduk yang melihat mereka berdua.

"Lihat, betapa zhalim anak itu. Ayahnya dibiarkan berjalan, sedangkan dia asyik berada di atas keledai. Sungguh anak itu kurang ajar dan durhaka."

Tentu saja, sang anak tak mau dikatakan sebagai anak yang kurang ajar. Dipersilahkannya ayahnya untuk naik ke punggung keledai. Kemudian dia berjalan di samping keledai dan melanjutkan perjalanan.

Ternyata perbuatan sang bijak dan anaknya, tetap mengundang komentar dari penduduk desa di jalan yang mereka lewati. Kali ini sang bijak yang mendapatkan komentar yang cukup pedas.

"Ayah yang sungguh tak punya kasih dan sayang. Sungguh malang nasib anaknya, dia berjalan begitu jauh, sementara ayahnya asyik menikmati perjalanan di punggung keledai."

Kali ini sang bijak berkata kepada anaknya.

"Hai anakku, bagaimana kalau kita berjalan saja tanpa ada seorang dari kita yang menaiki keledai. Mungkin, tak ada lagi yang memberikan komentar atas tingkah laku kita." Kata sang bijak dengan suara lembut kepada anaknya.

"Iya ayah." Jawab anaknya setuju.

Mulailah mereka berjalan berdua tanpa menaiki keledai. Tapi ternyata, tetap ada saja penduduk yang mengomentari tingkah mereka. Bahkan kali ini mereka dikatakan sebagai orang bodoh.

"Bodoh, sungguh bodoh kalian berdua. Punya keledai, malah kalian berjalan begitu jauh. Sungguh kalian tak punya otak." Komentar penduduk desa tersebut.

Mendengar hal tersebut sang bijak berkata kepada anaknya.

"Nak, sesungguhnya apapun yang kita lakukan orang-orang akan tetap memberikan komentar kepada kita. Sesungguhnya ini menjadi hikmah bagi kita, bahwa walaupun sebaik apapun perbuatan kita, tetap saja dalam pandangan orang yang dengki akan terlihat buruk."

***

Dalam kehidupan kita, kita bisa jadi berada dalam posisi sang bijak dan anaknya atau para pemberi komentar. Bila kita dalam posisi sang bijak dan anaknya, bisa jadi bila kita terus mendengarkan komentar negatif orang lain, maka kita tak akan melanjutkan perjalanan dan kebaikan yang kita niatkan.

Tapi, yang paling buruk adalah kita memasang posisi sebagai pemberi komentar. Seringkali kita mendengar istilah NATO, No Action, Talk Only. Sudah tidak melakukan perbuatan amal, malah mencela orang lain yang berbuat kebaikan, bahkan mencegahnya.

Misalnya saja, ketika ita melihat sukarelawan yang memasang simbol organisasinya ketika memberi bantuan kepada korban musibah, maka kita asyik berkomentar dan membedah hatinya.

"Ah, pasti dia tidak ikhlas, hanya ingin membuat organisasinya terkenal."

Atau ketika kita melihat seseorang yang mengumumkan sedekahnya, malah kita menganggapnya riya. Padahal kita sendiri tak ikut membantu baik secara harta dan fisik, dan juga tak ikut bersedekah. Kita asyik mengomentari perbuatan seseorang, seakan-akan kita bisa membedah hati mereka.

Maka bila kita tak bisa berbuat baik, setidaknya kita jangan mencegah orang lain berbuat baik dengan komentar kita.

Dan seandainya kita bisa memilih, maka pilihlah menjadi di posisi sang bijak dan anaknya, bukan sang pengamat keledai. Karena terkadang apa yang kita pikirkan, belum tentu sesuai dengan apa yang dialami oleh mereka yang kita komentari.

Allahu a'lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar