Di jalanan, ada banyak orang yang melakukan sesuatu baru memikirkan apa akibatnya. Ada yang memundurkan kendaraan sambil kemudian memikirkan apa yang harus dilakukannya sambil memundurkan kendaraannya. Ada sebagian kita yang menyeberang sambil kemudian memikirkan apa yang akan dia lakukan di tengah ruas jalan. Ada yang asyik mengendarai kendaraan sambil telepon atau sms, sambil tak menyediakan alternative tindakan yang akan dilakukan jika ada peristiwa mendadak.
Sebenarnya kecerobohan ini bukan tipikal sebagian kecil di antara kita. Dan kecerobohan semacam itu juga bukan cuma ada di jalanan.
Cahaya ilmu adalah kebutuhan.
Saya pernah menyusul sebuah kijang. Saya dan istri terpaksa menambah kecepatan untuk menyusulnya. Pasalnya, kami melihat pintu kiri depan terbuka. Maksud saya tertutup tapi terbuka. Jika ada yang menyandarkan badannya, pasti orang itu akan terlempar ke luar, kecuali Allah berkehendak lain. Aku sejajarkan motorku untuk memastikan kondisi pintu kiri depan itu.
Kami berkesimpulan, pintu itu memang tak tertutup dengan sempurna. Kami coba melihat kondisi penumpang dan sopir. Mengejutkan. Di belakang kemudi, ada ibu ibu tua. Saya sebut tua, karena kerudung, kaca mata, caranya mengikatkan rambut dan beberapa pernik menunjukkan pilihan style orang tua. Style nenek nenek. Di sebelahnya, ibu yang lebih tua. Bungkuk dan lemah. Di barisan bangku tengah, ada 3 orang. Dua perempuan dan satu laki laki. Semuanya tua. Mereka tak pedulikan kode kami. Kami mulai main ‘kasar’.
Kami mulai membunyikan bel dan melambai lambaikan tangan. Akhirnya mereka tahu. Dan pintupun ditutup dengan sempat kami dengar kata kata saling menyalahkan.
Sebenarnya kecerobohan ini bukan tipikal orang tua.
Dan bukan cuma ada di jalanan.
Ada banyak kecerobohan yang kita lakukan. Semuanya berpangkal dari ketidakmengertian. Ada banyak kebodohan dalam hidup keseharian ini. Ada kemalasan karena dipicu kebodohan. Ada kesombongan yang saham terbesarnya adalah kebodohan. Ada kecerobohan yang penyebab utamanya adalah kebodohan. Ada banyak hal bodoh kita lakukan karena kebebalan kita.
Anda suka melihat wajah penyesalan? Saya suka belajar dari wajah wajah penuh penyesalan. Saya hafal ekspresi penyesalan anak saya yang meletakkan buku gambarnya di lantai dan karyanya menjadi bulan bulanan adik kecilnya. Ada wajah penyesalan kakak yang khas ketika gelas dia terjatuh karena candaannya di meja makan. Ada wajah penyesalan Aisyah ketika dia menggoda adik sampai menyinggung harga diri adik dan adik marah besar. Aku bahkan hafal ekspresi mereka. Aku juga hafal ekspresi penyesalan istriku. Mereka punya wajah penyesalan yang khas. Mereka juga hafal ekspresi penyesalanku.
Agak sulit melukiskan wajah penyesalan itu. Tapi ada campuran bodoh, ada unsur sedang berpikir, ada unsur sedang mencoba memperbaiki keadaan, ada sedikit campuran optimis yang dicampurkan dengan hal keraguan dan kekhawatiran. Dan memang sebagian besar ekspresi penyesalan adalah ekspresi yang tak terlukiskan dengan kata kata.
Aku kerap mengingatkan mereka pada ekspresi penyesalan mereka jika peringatan peringatanku mereka abaikan. ‘Nduk, apa aku harus melihat ekspresi begini?’, sergahku sambil menirukan ekspresi mereka. Biasanya kami menertawakan ekspresi itu.
Selama masih ada nafas di badan, selama itu penyesalan masih bersifat relatif dan tak permanen. Masih ada kesempatan memperbaiki diri. Yang tak terbayang adalah ekspresi penyesalan –di hadapanNYA- di sana kelak. Di saat tak ada kesempatan untuk memperbaiki diri dan di saat tak ada lagi yang membantu kita. Di saat tak lain bisa kita mendayagunakan harta dan semua asset yang kita miliki.
Penyesalan itu –penyesalan di hari hadapanNya- pasti khas dan akan sangat ekstrem. Rasanya akan ada campuran kebodohan dan penyesalan yang sangat ekstrem. Entah masih akan adakah unsur berpikir di sana? Entah masihkah ada unsur upaya memperbaiki keadaan. Entah dimana letak optimisme di hari itu dan pasti akan ada banyak sekali ekspresi yang tak terlukiskan dengan kata kata.
Selama masih ada kesempatan, penyesalan bukanlah sarana untuk membunuh semangat dan mengabaikan peluang perbaikan. Ia adalah sarana untuk belajar. Maka, cahaya ilmu adalah kebutuhan kita semua.
Tentu kita tak ingin tampil bodoh di sana kelak. Tentu kita tak ingin menyesal. Karena di sana bukan sekadar soal gelas yang pecah karena kita tak sedang sungguh sungguh berpikir. Penyesalan di sana bukan selevel dengan pecahnya kaca spion karena kecerobohan memundurkan mobil. Di sana, penyesalan tentu lebih dahsyat dibandingkan penyesalan karena seseorang marah karena guyonan keterlaluan kita. Pasti lebih dahsyat dari semua penyesalan di dunia ini. Agar tak salah tingkah di sana, belajar adalah kata kuncinya.
Selama masih ada kesempatan, penyesalan bukanlah sarana untuk membunuh semangat dan mengabaikan peluang perbaikan. Ia adalah sarana untuk belajar. Maka, cahaya ilmu adalah kebutuhan kita semua.
oleh: ekonov
sumber: forum salahuddin kpdjp
Senin, 17 September 2012
Andai kau selalu disampingku, wahai teman sejati.
hati ini kan slalu tenang di malam hari,
saat ku pulang dari mengarungi panasnya dunia yang membakar kepala dan
kejamnya dunia yang menyesakkan dada.
hati ini kan kembali tenang
saat pulang dengan disambut oleh nasihat,semangat,dan kelembutan akhlaq ukhrowi
melalui dzikir,tilawah, dan qiyamullail
teman sejati dan buah hati
Rumahku surgaku,
harapanku yang semakin jauh.
tempat keimanan dan semangat,
kembali terisi untuk hadapi amanah diluar sana
yang meremukkan pundak dan punggungku.
harapanku......
Ra sah dirasakke...
Namanya Pak Dedet. Aku mengenalnya karena hampir tiap Ahad sering bersama naik kereta Senja Utama Jogja (SenJo) dari Jogja ke Jakarta. Bila dengan teman-teman ‘laskar senja’ DJP kebersamaan itu akan berakhir di stasiun Senen, maka bersama pak Dedet kami masih harus meneruskan perjuangan menuju tempat kerja yang kebetulan satu arah. Masih sekitar 100 km lagi jarak yang harus kami tempuh. Beliau bekerja di suatu kawasan industri daerah Cilegon, sementara aku di Serang. Bila aku mengejar absen sampai jam 7.30, beliau jam 8.00. Untuk lebih mempercepat perjalanan, kami biasanya naik taksi dari Senen ke kebun jeruk. Lumayan ongkos bisa dibagi dua. Kemudian subuhan di musholla kantor Jasa Marga Kebun Jeruk, sebelum meneruskan perjalanan kembali dengan bis/elf jurusan ke Merak. Tak terasa minggu, berganti bulan, berganti tahun kami lalui bersama. Bagi Pak Dedet tahun ini merupakan tahun ke-17 beliau nglaju, sebagai PJKA = Pulang Jumat Kembali Ahad (meski seringkali kalau ditanya, dijawab dengan nada canda ‘baru 17 tahun’, beda dengan aku yang ‘sudah 4 tahun’) . Suatu saat aku pernah bertanya kepadanya apa yang menyebabkan mampu bertahan selama 17 tahun nglaju. “ Ra sah dirasakke mas..” jawabnya sambil tersenyum. Meski mungkin itu hanya sekedar jawaban penghibur diri saja, tapi rasanya aku perlu merenungkan jawaban itu.
Ra sah dirasakke (sebenarnya dari bahasa Jawa ora usah dirasakke = tidak usah dirasakan) ternyata bisa menjadi peluruh segenap kepenatan, duka dan lara yang dirasa. Meski terkadang itu harus dilalui dengan tubuh yang terbaring beberapa hari menahan sakit, ketinggalan kereta karena macet di Tol, kehabisan tiket untuk pulang, dan tentu yang utama menahan dahaga kerinduan pada istri & anak-anak tercinta bila tidak bisa pulang. Ra sah dirasakke juga mampu membuat kami tetap dapat menatap ke depan pada tujuan atas ribuan kilometer jejak langkah yang telah kami tempuh selama ini. Disini berpadu energi & cinta yang menyuluh asa agar tetap berpijar, menjaganya jangan sampai padam. Diatas itu semuanya kami tetap berharap pada Ilahi, agar semua desah nafas & gerak raga ini menjadi tambahan nilai ibadah di sisi-Nya. Sampai suatu malam, di hari rabu bulan lalu “Selamat ya Makassar, Makassar!” seru seorang kawan ketika menelponku. Aku masih termangu tidak percaya. “ Cek SIKKA!” Lalu dia sebutkan suatu amanah baru, di kantor yang benar-benar baru. Aku masih tidak percaya. Inikah saatnya meninggalkan bumi Banten, menuju tempat perantauan baru? Lalu sms-sms berdatangan, mengabarkan hal yang sama. Waktu menjadi terasa cepat berpacu. Berkelebat dalam benak, wajah istriku. Anak-anakku. Teman-teman kantor. Orang-orang yang selama ini telah membersamaiku. Lalu meloncat ke Pulau Sulawesi. Lalu Makassar. Lalu Bandara Sultan Hasanuddin. Lalu.. aku teringat Pak Dedet. Aku perlu mengabarkannya juga akan hari-hari ke depan yang tidak bisa membersamainya lagi..
Akhirnya, suatu malam di hari ahad, di Bandara Adi Sutjipto Selembar tiket pesawat menuju Makassar telah berada dalam genggamanku. Aku duduk di ruang tunggu. Tempat,yang rasanya untuk hari-hari ke depan akan sering aku singgahi. Tempat yang tidak aku temui lagi ‘nasi kucing’ favoritku seperti halnya di angkringan Stasiun Tugu. Tempat yang tidak lagi menawarkan ‘gelaran koran’. Tempat dengan orang-orang yang sungguh berbeda. Sampai sebuah pengumuman menyentakku, bahwa pesawat yang akan aku tumpangi mengalami keterlambatan. Kudengar gumaman orang-orang menggerutu. Ah.. Ra sah dirasakke.. Kualihkan perhatian pada layar kaca, ada MU versus Everton yang masih berlangsung seru.. oleh: sudero sumber: forum salahuddin kpdjp
Namanya Pak Dedet. Aku mengenalnya karena hampir tiap Ahad sering bersama naik kereta Senja Utama Jogja (SenJo) dari Jogja ke Jakarta. Bila dengan teman-teman ‘laskar senja’ DJP kebersamaan itu akan berakhir di stasiun Senen, maka bersama pak Dedet kami masih harus meneruskan perjuangan menuju tempat kerja yang kebetulan satu arah. Masih sekitar 100 km lagi jarak yang harus kami tempuh. Beliau bekerja di suatu kawasan industri daerah Cilegon, sementara aku di Serang. Bila aku mengejar absen sampai jam 7.30, beliau jam 8.00. Untuk lebih mempercepat perjalanan, kami biasanya naik taksi dari Senen ke kebun jeruk. Lumayan ongkos bisa dibagi dua. Kemudian subuhan di musholla kantor Jasa Marga Kebun Jeruk, sebelum meneruskan perjalanan kembali dengan bis/elf jurusan ke Merak. Tak terasa minggu, berganti bulan, berganti tahun kami lalui bersama. Bagi Pak Dedet tahun ini merupakan tahun ke-17 beliau nglaju, sebagai PJKA = Pulang Jumat Kembali Ahad (meski seringkali kalau ditanya, dijawab dengan nada canda ‘baru 17 tahun’, beda dengan aku yang ‘sudah 4 tahun’) . Suatu saat aku pernah bertanya kepadanya apa yang menyebabkan mampu bertahan selama 17 tahun nglaju. “ Ra sah dirasakke mas..” jawabnya sambil tersenyum. Meski mungkin itu hanya sekedar jawaban penghibur diri saja, tapi rasanya aku perlu merenungkan jawaban itu.
Ra sah dirasakke (sebenarnya dari bahasa Jawa ora usah dirasakke = tidak usah dirasakan) ternyata bisa menjadi peluruh segenap kepenatan, duka dan lara yang dirasa. Meski terkadang itu harus dilalui dengan tubuh yang terbaring beberapa hari menahan sakit, ketinggalan kereta karena macet di Tol, kehabisan tiket untuk pulang, dan tentu yang utama menahan dahaga kerinduan pada istri & anak-anak tercinta bila tidak bisa pulang. Ra sah dirasakke juga mampu membuat kami tetap dapat menatap ke depan pada tujuan atas ribuan kilometer jejak langkah yang telah kami tempuh selama ini. Disini berpadu energi & cinta yang menyuluh asa agar tetap berpijar, menjaganya jangan sampai padam. Diatas itu semuanya kami tetap berharap pada Ilahi, agar semua desah nafas & gerak raga ini menjadi tambahan nilai ibadah di sisi-Nya. Sampai suatu malam, di hari rabu bulan lalu “Selamat ya Makassar, Makassar!” seru seorang kawan ketika menelponku. Aku masih termangu tidak percaya. “ Cek SIKKA!” Lalu dia sebutkan suatu amanah baru, di kantor yang benar-benar baru. Aku masih tidak percaya. Inikah saatnya meninggalkan bumi Banten, menuju tempat perantauan baru? Lalu sms-sms berdatangan, mengabarkan hal yang sama. Waktu menjadi terasa cepat berpacu. Berkelebat dalam benak, wajah istriku. Anak-anakku. Teman-teman kantor. Orang-orang yang selama ini telah membersamaiku. Lalu meloncat ke Pulau Sulawesi. Lalu Makassar. Lalu Bandara Sultan Hasanuddin. Lalu.. aku teringat Pak Dedet. Aku perlu mengabarkannya juga akan hari-hari ke depan yang tidak bisa membersamainya lagi..
Akhirnya, suatu malam di hari ahad, di Bandara Adi Sutjipto Selembar tiket pesawat menuju Makassar telah berada dalam genggamanku. Aku duduk di ruang tunggu. Tempat,yang rasanya untuk hari-hari ke depan akan sering aku singgahi. Tempat yang tidak aku temui lagi ‘nasi kucing’ favoritku seperti halnya di angkringan Stasiun Tugu. Tempat yang tidak lagi menawarkan ‘gelaran koran’. Tempat dengan orang-orang yang sungguh berbeda. Sampai sebuah pengumuman menyentakku, bahwa pesawat yang akan aku tumpangi mengalami keterlambatan. Kudengar gumaman orang-orang menggerutu. Ah.. Ra sah dirasakke.. Kualihkan perhatian pada layar kaca, ada MU versus Everton yang masih berlangsung seru.. oleh: sudero sumber: forum salahuddin kpdjp
PERTEMANAN ITU TAK ABADI
Apa yang abadi di dunia ini? Tidak ada. Semua makhluq itu fana. Jika semuanya fana, maka semua ikatan makhluq itu juga akan ada masanya untuk berakhir. Sederhana saja. Sederhana, tapi tak kadang bermakna kepedihan. Ikatan Itu Tak Abadi.
Pertemanan itu tak abadi. Seseorang yang menjadi teman baik kita di hari ini, belum tentu akan sebaiknya. Biasa saja. Sebagaimana yang bisa terjadi pada diri kita yang baik bagi seseorang di hari ini namun bisa menjadi sosok yang sangat buruk bagi orang itu di waktu-waktu selanjutnya. Keburukan karena pertemanan yang ektrem di masa lalu kerap mengundang penyesalan di hari-hari akhir ketika pertemanan itu sudah berakhir. Kejahatan atas nama kesetiakawanan di masa lalu kerap menjadi lembaran kelam bagi banyak orang. Kebodohan yang dilakukan atas nama kesetiakawanan juga kerap menjadi bagian yang enggan diungkit oleh sebagian kita di hari-hari penyesalan.
Pertemanan itu tak abadi. Bisnis itu soal kepercayaan dan kenyamanan. Itu juga tak abadi. Kerjasama bisnis itu tak abadi. Ia ada ketika menguntungkan dan dia menjadi sirna ketika ada pengkhianatan. Allah juga menyingkir dari perikatan bisnis yang memuat pengkhianatan. Ikatan bisnis itu tak abadi. Kolega kerja itu soal pergiliran. Itu juga tak abadi. Pindah, mutasi, penempatan, reorganisasi, dan lainnya bisa mengubah sebuah perikatan kerja. Memang akan selalu ada semangat untuk melanggengkan ikatan itu.
Tapi zaman –bagaimanapun- tak akan membuat perikatan itu sama persis dengan ikatan yang pernah ada. Upaya untuk tetap langgeng itu sebaiknya difahami sebagai sebuah upaya manusiawi. Tapi, ikatan kerja itu tak abadi. Pernikahan juga tidak abadi. Ada banyak hal yang membuat perikatan ini berakhir. Banyak sekali. Pernikahan juga tak abadi. Perikatan dunia itu perikatan dunia. Tapi, kita bisa mengharapkan kebaikan dunia dan akherat dari perikatan dunia yang ada ini. Kita bisa berharap pertemanan yang ada mengantarkan kita ke surgaNya, karena sebagian wajah kita di akherat adalah wajah pertemanan kita di dunia. Kita berharap ikatan bisnis, ikatan kerja, ikatan pernikahan dan semua perikatan itu membawa manfaat bagi kita –bukan Cuma di dunia- dunia dan akherat. Memahami watak partner itu agak mudah ketika kita memiliki visi ukhrawi. Perikatan itu menjadi rumit ketika kita tidak berorientasi akherat. Partner kita akan mudah terlihat rakus jika kita juga rakus. Partner perikatan kita akan sangat terlihat sombong dalam kacamata kesombongan kita. Kawan kita mudah terlihat egois dalam pandangan egoisme kita. Dan istri kita Cuma mau enaknya sendiri –terutama- ketika kemauan kita tidak diikutinya. Perikatan itu rumit jika kita miskin cita rasa akherat.
Aku pernah menerima senyum indah agen asuransi, tukang jualan makanan, pelayan sebuah entitas bisnis, dan lain-lain. Dan Alhamdulillah, aku juga pernah menyaksikan bagaimana perubahan mereka ketika ikatan dan kepentingannya selesai. Mudah. Jika aku ingin mereka yang semacam ini tersenyum lagi, aku tinggal memenuhi maunya. Dan jika aku tak ingin memenuhi kemauannya, aku Cuma tinggal tak berharap pada senyumnya. Maka parade sakit hati dan caci maki karena kepentingannya tak terpenuhi itu bukan hal istimewa bagiku. Itu biasa. Kemarahan yang dipamerkan karena kesukaannya terusik itu biasa. Makian yang dibombardir karena pilihannya tak aku pilih itu biasa.
Pameran penyesalan yang ekspresif karena pernah bersama itu juga hal yang tak boleh sangat menggores hatiku. Senang karena kepentingannya aku ikuti dan tak suka karena kepentingannya aku abaikan itu biasa. Aku juga begitu. Cuma soal jangkauan pandangan saja yang membedakan. Sebaliknya, akan sangat sulit melepas mereka yang sangat kita sukai dari sebuah perikatan. Memang memutus dan melepas pihak yang kita cintai itu sangat tak mudah. Semakin kuat cinta kita maka mungkin akan semakin sulit untuk mengakhiri ikatan itu. Semakin suka kita dengan sebuah ikatan maka semakin sukar kita mengurai ikatan itu. Dan semakin banyak manfaat atau semakin kita sukai manfaat dari sebuah perikatan, maka semakin sakit kita jika tiba saatnya untuk melepas ikatan itu.
Semoga Allah memudahkan urusan perikatan yang substansinya sederhana namun kerap mengaduk-aduk emosi ini. Aamiin. Besok, insyaallah akan belanja ke fulan, agar senyumnya kembali mengembang untukku. Besok, aku akan mencoba menyapanya. Mungkin sudah agak lama aku tak menyapanya. Besok, insyaallah, aku akan mencoba mengajaknya, mungkin ajakanku bisa menyejukkan hatinya. Insyaallah. Ikatan itu tak ada yang benar-benar abadi.
Kuningan, 13 September 2012
oleh: ekonov
sumber: forum salahuddin kpdjp
Apa yang abadi di dunia ini? Tidak ada. Semua makhluq itu fana. Jika semuanya fana, maka semua ikatan makhluq itu juga akan ada masanya untuk berakhir. Sederhana saja. Sederhana, tapi tak kadang bermakna kepedihan. Ikatan Itu Tak Abadi.
Pertemanan itu tak abadi. Seseorang yang menjadi teman baik kita di hari ini, belum tentu akan sebaiknya. Biasa saja. Sebagaimana yang bisa terjadi pada diri kita yang baik bagi seseorang di hari ini namun bisa menjadi sosok yang sangat buruk bagi orang itu di waktu-waktu selanjutnya. Keburukan karena pertemanan yang ektrem di masa lalu kerap mengundang penyesalan di hari-hari akhir ketika pertemanan itu sudah berakhir. Kejahatan atas nama kesetiakawanan di masa lalu kerap menjadi lembaran kelam bagi banyak orang. Kebodohan yang dilakukan atas nama kesetiakawanan juga kerap menjadi bagian yang enggan diungkit oleh sebagian kita di hari-hari penyesalan.
Pertemanan itu tak abadi. Bisnis itu soal kepercayaan dan kenyamanan. Itu juga tak abadi. Kerjasama bisnis itu tak abadi. Ia ada ketika menguntungkan dan dia menjadi sirna ketika ada pengkhianatan. Allah juga menyingkir dari perikatan bisnis yang memuat pengkhianatan. Ikatan bisnis itu tak abadi. Kolega kerja itu soal pergiliran. Itu juga tak abadi. Pindah, mutasi, penempatan, reorganisasi, dan lainnya bisa mengubah sebuah perikatan kerja. Memang akan selalu ada semangat untuk melanggengkan ikatan itu.
Tapi zaman –bagaimanapun- tak akan membuat perikatan itu sama persis dengan ikatan yang pernah ada. Upaya untuk tetap langgeng itu sebaiknya difahami sebagai sebuah upaya manusiawi. Tapi, ikatan kerja itu tak abadi. Pernikahan juga tidak abadi. Ada banyak hal yang membuat perikatan ini berakhir. Banyak sekali. Pernikahan juga tak abadi. Perikatan dunia itu perikatan dunia. Tapi, kita bisa mengharapkan kebaikan dunia dan akherat dari perikatan dunia yang ada ini. Kita bisa berharap pertemanan yang ada mengantarkan kita ke surgaNya, karena sebagian wajah kita di akherat adalah wajah pertemanan kita di dunia. Kita berharap ikatan bisnis, ikatan kerja, ikatan pernikahan dan semua perikatan itu membawa manfaat bagi kita –bukan Cuma di dunia- dunia dan akherat. Memahami watak partner itu agak mudah ketika kita memiliki visi ukhrawi. Perikatan itu menjadi rumit ketika kita tidak berorientasi akherat. Partner kita akan mudah terlihat rakus jika kita juga rakus. Partner perikatan kita akan sangat terlihat sombong dalam kacamata kesombongan kita. Kawan kita mudah terlihat egois dalam pandangan egoisme kita. Dan istri kita Cuma mau enaknya sendiri –terutama- ketika kemauan kita tidak diikutinya. Perikatan itu rumit jika kita miskin cita rasa akherat.
Aku pernah menerima senyum indah agen asuransi, tukang jualan makanan, pelayan sebuah entitas bisnis, dan lain-lain. Dan Alhamdulillah, aku juga pernah menyaksikan bagaimana perubahan mereka ketika ikatan dan kepentingannya selesai. Mudah. Jika aku ingin mereka yang semacam ini tersenyum lagi, aku tinggal memenuhi maunya. Dan jika aku tak ingin memenuhi kemauannya, aku Cuma tinggal tak berharap pada senyumnya. Maka parade sakit hati dan caci maki karena kepentingannya tak terpenuhi itu bukan hal istimewa bagiku. Itu biasa. Kemarahan yang dipamerkan karena kesukaannya terusik itu biasa. Makian yang dibombardir karena pilihannya tak aku pilih itu biasa.
Pameran penyesalan yang ekspresif karena pernah bersama itu juga hal yang tak boleh sangat menggores hatiku. Senang karena kepentingannya aku ikuti dan tak suka karena kepentingannya aku abaikan itu biasa. Aku juga begitu. Cuma soal jangkauan pandangan saja yang membedakan. Sebaliknya, akan sangat sulit melepas mereka yang sangat kita sukai dari sebuah perikatan. Memang memutus dan melepas pihak yang kita cintai itu sangat tak mudah. Semakin kuat cinta kita maka mungkin akan semakin sulit untuk mengakhiri ikatan itu. Semakin suka kita dengan sebuah ikatan maka semakin sukar kita mengurai ikatan itu. Dan semakin banyak manfaat atau semakin kita sukai manfaat dari sebuah perikatan, maka semakin sakit kita jika tiba saatnya untuk melepas ikatan itu.
Semoga Allah memudahkan urusan perikatan yang substansinya sederhana namun kerap mengaduk-aduk emosi ini. Aamiin. Besok, insyaallah akan belanja ke fulan, agar senyumnya kembali mengembang untukku. Besok, aku akan mencoba menyapanya. Mungkin sudah agak lama aku tak menyapanya. Besok, insyaallah, aku akan mencoba mengajaknya, mungkin ajakanku bisa menyejukkan hatinya. Insyaallah. Ikatan itu tak ada yang benar-benar abadi.
Kuningan, 13 September 2012
oleh: ekonov
sumber: forum salahuddin kpdjp
Langganan:
Postingan (Atom)