Senin, 17 September 2012

Ra sah dirasakke...

Namanya Pak Dedet. Aku mengenalnya karena hampir tiap Ahad sering bersama naik kereta Senja Utama Jogja (SenJo) dari Jogja ke Jakarta. Bila dengan teman-teman ‘laskar senja’ DJP kebersamaan itu akan berakhir di stasiun Senen, maka bersama pak Dedet kami masih harus meneruskan perjuangan menuju tempat kerja yang kebetulan satu arah. Masih sekitar 100 km lagi jarak yang harus kami tempuh. Beliau bekerja di suatu kawasan industri daerah Cilegon, sementara aku di Serang. Bila aku mengejar absen sampai jam 7.30, beliau jam 8.00. Untuk lebih mempercepat perjalanan, kami biasanya naik taksi dari Senen ke kebun jeruk. Lumayan ongkos bisa dibagi dua. Kemudian subuhan di musholla kantor Jasa Marga Kebun Jeruk, sebelum meneruskan perjalanan kembali dengan bis/elf jurusan ke Merak. Tak terasa minggu, berganti bulan, berganti tahun kami lalui bersama. Bagi Pak Dedet tahun ini merupakan tahun ke-17 beliau nglaju, sebagai PJKA = Pulang Jumat Kembali Ahad (meski seringkali kalau ditanya, dijawab dengan nada canda ‘baru 17 tahun’, beda dengan aku yang ‘sudah 4 tahun’) . Suatu saat aku pernah bertanya kepadanya apa yang menyebabkan mampu bertahan selama 17 tahun nglaju. “ Ra sah dirasakke mas..” jawabnya sambil tersenyum. Meski mungkin itu hanya sekedar jawaban penghibur diri saja, tapi rasanya aku perlu merenungkan jawaban itu.

Ra sah dirasakke (sebenarnya dari bahasa Jawa ora usah dirasakke = tidak usah dirasakan) ternyata bisa menjadi peluruh segenap kepenatan, duka dan lara yang dirasa. Meski terkadang itu harus dilalui dengan tubuh yang terbaring beberapa hari menahan sakit, ketinggalan kereta karena macet di Tol, kehabisan tiket untuk pulang, dan tentu yang utama menahan dahaga kerinduan pada istri & anak-anak tercinta bila tidak bisa pulang. Ra sah dirasakke juga mampu membuat kami tetap dapat menatap ke depan pada tujuan atas ribuan kilometer jejak langkah yang telah kami tempuh selama ini. Disini berpadu energi & cinta yang menyuluh asa agar tetap berpijar, menjaganya jangan sampai padam. Diatas itu semuanya kami tetap berharap pada Ilahi, agar semua desah nafas & gerak raga ini menjadi tambahan nilai ibadah di sisi-Nya. Sampai suatu malam, di hari rabu bulan lalu “Selamat ya Makassar, Makassar!” seru seorang kawan ketika menelponku. Aku masih termangu tidak percaya. “ Cek SIKKA!” Lalu dia sebutkan suatu amanah baru, di kantor yang benar-benar baru. Aku masih tidak percaya. Inikah saatnya meninggalkan bumi Banten, menuju tempat perantauan baru? Lalu sms-sms berdatangan, mengabarkan hal yang sama. Waktu menjadi terasa cepat berpacu. Berkelebat dalam benak, wajah istriku. Anak-anakku. Teman-teman kantor. Orang-orang yang selama ini telah membersamaiku. Lalu meloncat ke Pulau Sulawesi. Lalu Makassar. Lalu Bandara Sultan Hasanuddin. Lalu.. aku teringat Pak Dedet. Aku perlu mengabarkannya juga akan hari-hari ke depan yang tidak bisa membersamainya lagi..

Akhirnya, suatu malam di hari ahad, di Bandara Adi Sutjipto Selembar tiket pesawat menuju Makassar telah berada dalam genggamanku. Aku duduk di ruang tunggu. Tempat,yang rasanya untuk hari-hari ke depan akan sering aku singgahi. Tempat yang tidak aku temui lagi ‘nasi kucing’ favoritku seperti halnya di angkringan Stasiun Tugu. Tempat yang tidak lagi menawarkan ‘gelaran koran’. Tempat dengan orang-orang yang sungguh berbeda. Sampai sebuah pengumuman menyentakku, bahwa pesawat yang akan aku tumpangi mengalami keterlambatan. Kudengar gumaman orang-orang menggerutu. Ah.. Ra sah dirasakke.. Kualihkan perhatian pada layar kaca, ada MU versus Everton yang masih berlangsung seru.. oleh: sudero sumber: forum salahuddin kpdjp

Tidak ada komentar:

Posting Komentar