Di jalanan, ada banyak orang yang melakukan sesuatu baru memikirkan apa akibatnya. Ada yang memundurkan kendaraan sambil kemudian memikirkan apa yang harus dilakukannya sambil memundurkan kendaraannya. Ada sebagian kita yang menyeberang sambil kemudian memikirkan apa yang akan dia lakukan di tengah ruas jalan. Ada yang asyik mengendarai kendaraan sambil telepon atau sms, sambil tak menyediakan alternative tindakan yang akan dilakukan jika ada peristiwa mendadak.
Sebenarnya kecerobohan ini bukan tipikal sebagian kecil di antara kita. Dan kecerobohan semacam itu juga bukan cuma ada di jalanan.
Cahaya ilmu adalah kebutuhan.
Saya pernah menyusul sebuah kijang. Saya dan istri terpaksa menambah kecepatan untuk menyusulnya. Pasalnya, kami melihat pintu kiri depan terbuka. Maksud saya tertutup tapi terbuka. Jika ada yang menyandarkan badannya, pasti orang itu akan terlempar ke luar, kecuali Allah berkehendak lain. Aku sejajarkan motorku untuk memastikan kondisi pintu kiri depan itu.
Kami berkesimpulan, pintu itu memang tak tertutup dengan sempurna. Kami coba melihat kondisi penumpang dan sopir. Mengejutkan. Di belakang kemudi, ada ibu ibu tua. Saya sebut tua, karena kerudung, kaca mata, caranya mengikatkan rambut dan beberapa pernik menunjukkan pilihan style orang tua. Style nenek nenek. Di sebelahnya, ibu yang lebih tua. Bungkuk dan lemah. Di barisan bangku tengah, ada 3 orang. Dua perempuan dan satu laki laki. Semuanya tua. Mereka tak pedulikan kode kami. Kami mulai main ‘kasar’.
Kami mulai membunyikan bel dan melambai lambaikan tangan. Akhirnya mereka tahu. Dan pintupun ditutup dengan sempat kami dengar kata kata saling menyalahkan.
Sebenarnya kecerobohan ini bukan tipikal orang tua.
Dan bukan cuma ada di jalanan.
Ada banyak kecerobohan yang kita lakukan. Semuanya berpangkal dari ketidakmengertian. Ada banyak kebodohan dalam hidup keseharian ini. Ada kemalasan karena dipicu kebodohan. Ada kesombongan yang saham terbesarnya adalah kebodohan. Ada kecerobohan yang penyebab utamanya adalah kebodohan. Ada banyak hal bodoh kita lakukan karena kebebalan kita.
Anda suka melihat wajah penyesalan? Saya suka belajar dari wajah wajah penuh penyesalan. Saya hafal ekspresi penyesalan anak saya yang meletakkan buku gambarnya di lantai dan karyanya menjadi bulan bulanan adik kecilnya. Ada wajah penyesalan kakak yang khas ketika gelas dia terjatuh karena candaannya di meja makan. Ada wajah penyesalan Aisyah ketika dia menggoda adik sampai menyinggung harga diri adik dan adik marah besar. Aku bahkan hafal ekspresi mereka. Aku juga hafal ekspresi penyesalan istriku. Mereka punya wajah penyesalan yang khas. Mereka juga hafal ekspresi penyesalanku.
Agak sulit melukiskan wajah penyesalan itu. Tapi ada campuran bodoh, ada unsur sedang berpikir, ada unsur sedang mencoba memperbaiki keadaan, ada sedikit campuran optimis yang dicampurkan dengan hal keraguan dan kekhawatiran. Dan memang sebagian besar ekspresi penyesalan adalah ekspresi yang tak terlukiskan dengan kata kata.
Aku kerap mengingatkan mereka pada ekspresi penyesalan mereka jika peringatan peringatanku mereka abaikan. ‘Nduk, apa aku harus melihat ekspresi begini?’, sergahku sambil menirukan ekspresi mereka. Biasanya kami menertawakan ekspresi itu.
Selama masih ada nafas di badan, selama itu penyesalan masih bersifat relatif dan tak permanen. Masih ada kesempatan memperbaiki diri. Yang tak terbayang adalah ekspresi penyesalan –di hadapanNYA- di sana kelak. Di saat tak ada kesempatan untuk memperbaiki diri dan di saat tak ada lagi yang membantu kita. Di saat tak lain bisa kita mendayagunakan harta dan semua asset yang kita miliki.
Penyesalan itu –penyesalan di hari hadapanNya- pasti khas dan akan sangat ekstrem. Rasanya akan ada campuran kebodohan dan penyesalan yang sangat ekstrem. Entah masih akan adakah unsur berpikir di sana? Entah masihkah ada unsur upaya memperbaiki keadaan. Entah dimana letak optimisme di hari itu dan pasti akan ada banyak sekali ekspresi yang tak terlukiskan dengan kata kata.
Selama masih ada kesempatan, penyesalan bukanlah sarana untuk membunuh semangat dan mengabaikan peluang perbaikan. Ia adalah sarana untuk belajar. Maka, cahaya ilmu adalah kebutuhan kita semua.
Tentu kita tak ingin tampil bodoh di sana kelak. Tentu kita tak ingin menyesal. Karena di sana bukan sekadar soal gelas yang pecah karena kita tak sedang sungguh sungguh berpikir. Penyesalan di sana bukan selevel dengan pecahnya kaca spion karena kecerobohan memundurkan mobil. Di sana, penyesalan tentu lebih dahsyat dibandingkan penyesalan karena seseorang marah karena guyonan keterlaluan kita. Pasti lebih dahsyat dari semua penyesalan di dunia ini. Agar tak salah tingkah di sana, belajar adalah kata kuncinya.
Selama masih ada kesempatan, penyesalan bukanlah sarana untuk membunuh semangat dan mengabaikan peluang perbaikan. Ia adalah sarana untuk belajar. Maka, cahaya ilmu adalah kebutuhan kita semua.
oleh: ekonov
sumber: forum salahuddin kpdjp
Tidak ada komentar:
Posting Komentar