"Kapalnya sudah pergi. Kalian terlambat." Kalimat itu membuatku menggerutu dalam
hati. Perjalanan dari Malang menuju Tanjung Perak seperti menjadi sia-sia.
Apalagi kami sudah membeli tiket untuk pulang ke kota kelahiranku setelah
melakukan pendakian selama seminggu di Semeru.
Seharusnya malam ini saya
bersama ketiga sahabat, Tony, Tobo, dan Pardi sudah berada di atas kapal menuju
ke kampung halaman. Mungkin sambil menikmati desir angin malam yang
bermanja-manja menyelimuti tubuh kami. Tapi tidak, waktu tidak menunggu
siapa-siapa. Telat sedetik ataupun sejam sama saja. Artinya kami harus menyusun
rencana baru.
"Ada sih kapal. Tapi besok." Kata penjual
tiket.
Kami saling berpandangan.
"Bagaimana kalau kita menginap di
sini saja malam ini?" Kata Tony.
"Boleh." Kata Tobo mendukung Tony.
Memang sepertinya tidak ada pilihan lain.Menggembel di pelabuhan adalah
pilihan yang paling pas buat kami saat ini. Tapi mungkin juga bukan pilihan yang
pas. Kondisi pelabuhan yang penuh aliran manusia, membuatku membuka mata
kewaspadaanku. Barang-barang disusun rapi terjangkau dari pandangan.
“Dulu waktu berkunjung ke sini, saya sempat bertemu dengan teman
sedaerah. Saya akan mencarinya bersama Tobo, siapa tahu dia masih di sini.
Mungkin kita bisa menginap di tempatnya. Kalian di sini saja.” Tony menceritakan
rencananya.
Aku dan Pardi mengiyakan saja. Ide tersebut terdengar masuk
akal saat ini.
***
Angin malam mulai berhembus-hembus manja di
tubuhkami. Beralaskan matras, aku merebahkan diri sambil menatap
langit-langit.Malam seperti bercerita padaku saat ini.
Tony telah
kembali. Dengan kabar orang yang dicari tiada ketemu. Jadi kami sepakat untuk
tidur saja di depan loket penjual tiket. Tak mengapa, aku mulai menikmati momen
ini. Menjalani kehidupan malam di pelabuhan perak. Menjadi gembel, tidur
beralaskan bumi, beratapkan langit.
“Milo hangat mas, kopi hangat. Yang
hangat-hangat.” Suara seorang ibu terdengar di telingaku. Kami mengalihkan
pandangan ke arahnya.
Seorang wanita berumur sekitar 35-an tahunberdiri
di hadapan kami. Dia membawa termos, minuman instan dan gelas-gelas plastik.
Dengan gigih dia menawarkan jualan minumannya. Walau kami telah berusaha
menolaknya. dia tetap menawarkan lagi.
Mendadak aku merasa kasihan kepada
wanita itu.Bayangkan, seorang wanita di tengah malam berada di pelabuhan untuk
mencari rezeki. Kerasnya kehidupan bagi banyak orang tidak membuat mereka
menyerah.Malah mereka semakin berusaha keras untuk berjuang dan tak
menyerah.
Aku merotasikan pandanganku. Tingkah manusia bercerita tentang
makna hidup kepadaku. Begitu banyak manusia berada di pelabuhan ini. Mereka
semua mempunyai penderitaan hidupnya masing-masing. Namun aku bisa melihat, bagi
sebagian orang penderitaan kehidupan bukanlah masalah,namun masalahnya adalah
bagaimana kita memutuskan untuk menghadapinya.
Sebagian orang memilih
untuk berbuat menyerah,dan sebagian lagi memilih untuk menyerah.
Dan
mereka yang memilih untuk berjuang, salah satunya adalah wanita di
hadapanku.
“Pesan satu mbak. Milo hangat.” Kataku.Teman-teman yang lain
ikut memesan.
Wanita itu dengan cekatan menyajikan pesananku. Dalam
hatiku aku merasa damai. Walau malam ini kami mengalami masalah, namun selalu
ada hikmah yang dapat kami petik tentang kehidupan.Karena memang dunia tak
selebar daun kelor, dan masalah dalam hidup pun tak selalu sebesar seperti apa
yang kita bayangkan. Pandanglah jauh, maka kita dapat mengerti banyak orang yang
mengalami masalah yang lebih besar dalam hidup kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar