Rabu, 16 September 2015

Nikmat yang hilang itu...






Allah..
Kau tegur aku secara halus...
Kau sadarkan aku dari terlelapnya semangat ibadahku...
Kau kirim kan cahaya ke hati ku hingga air mata ini seringkali menetes..
Terima kasih kau telah sadarkan aku dari kesalahan "langkah" ini..
Kesalahan akibat maksiat ku yang menumpuk di saat ku seorang diri..
Allah, jangan kau cabat nyawaku sebelum aku bertaubat..Taubatan Nasuha...



Ayat-ayat Cinta 2, novel lanjutan dari novel pertama yang sangat kusukai sebelum ku temukan Laskar Pelangi. Novel yang berisi banyak nya nasihat dan ilmu. Sekaligus inspirasiku dalam membuat cita-cita di saat lajang dulu. Saat ini, kisah lanjutan nya kembali beredar di dunia maya. Kisah nya mengenai Fahri yang sudah sukses menjadi Doktor dan pengusaha Muslim sukses di Eropa. Selain itu, misteri hilangnya Aisha menjadi bumbu kental dalam sekuel ini.

Yang menjadi perhatian bukanlah kisah dalam buku itu, namun dampaknya bagi jiwaku. Seolah, Allah menegurku melalui kisah itu. Teguran akan cita-citaku dahulu yang kutaruh di tinggi nya atap langit. Menjadi Doktor di usia muda dan muslim yang pejuang. Allaaaaaah...Ampuni hamba..




Selasa, 05 Mei 2015

KETIKA MULUT TAK LAGI BERKATA

tulisan dari Taufiq Ismail ketika bicara dengan Chrisye


Tahun 1997 saya bertemu Chrisye sehabis sebuah acara, dan dia berkata, “

Bang, saya punya sebuah lagu, Saya sudah coba menuliskan kata-katanya, tapi
saya tidak puas.
Bisakah Abang tolong tuliskan liriknya?”

Karena saya suka
lagu-lagu Chrisye, saya katakan bisa.
Saya tanyakan kapan mesti selesai, dia bilang sebulan.

Menilik kegiatan saya yang lain, deadline sebulan itu bolehlah.

Kaset lagu itu dikirimkannya, berikut keterangan berapa baris lirik diperlukan, dan untuk setiap larik
berapa jumlah ketukannya, yang akan diisi dengan suku kata.

Dia menginginkan puisi relijius. Kemudian saya dengarkan lagu itu. Indah sekali.
Saya suka betul. Sesudah seminggu, tidak ada ide. Dua minggu begitu juga.
Minggu ketiga inspirasi masih tertutup. Saya mulai gelisah.
Di ujung minggu keempat tetap buntu. Saya heran.

Padahal lagu itu cantik jelita. Tapi kalau ide memang macet, apa mau dikatakan.
Tampaknya saya akan telepon Chrisye keesokan harinya dan saya mau bilang, ” Chris, maaf ya,
macet. Sori.” Saya akan kembalikan pita rekaman itu. 
Saya punya kebiasaan rutin baca Surah Yasin.
Malam itu, ketika sampai ayat
65 yang berbunyi, A’udzubillahi minasy syaithonirrojim. “Alyauma nakhtimu
‘alaa afwahihim, wa tukallimuna aidhihim, wa tasyhadu arjuluhum bimaa kaanu
yaksibuun” saya berhenti.

Maknanya, “Pada hari ini Kami akan tutup mulut
mereka, dan tangan mereka akan berkata kepada Kami, dan kaki mereka akan
bersaksi tentang apa yang telah mereka lakukan.”

Saya tergugah.
Makna ayat tentang Hari Pengadilan Akhir ini luar biasa!

Saya hidupkan lagi pita rekaman dan saya bergegas memindahkan makna itu ke larik-larik lagu tersebut.

Pada mulanya saya ragu apakah makna yang sangat berbobot itu akan bisa masuk pas ke dalamnya.

Bismillah. Keragu-raguan teratasi dan alhamdulillah penulisan lirik itu selesai.
Lagu itu saya beri judul Ketika Tangan dan Kaki Berkata.

Keesokannya dengan lega saya berkata di telepon,” Chris, Alhamdulillah selesai”.
Chrisye sangat gembira.

Saya belum beritahu padanya asal-usul
inspirasi lirik tersebut. 
Berikutnya, hal tidak biasa terjadi pada diri Chrisye.

Ketika mulai berlatih di kamar untuk menyanyikan lagu tersebut,

baru dua baris Chrisye menangis,

dicoba lagi menyanyi lagi,

di coba lagi dia menangis lagi, berkali-kali.

Di dalam memoarnya yang dituliskan Alberthiene Endah,
Chrisye Sebuah Memoar Musikal, 2007 (halaman 308-309),

bertutur Chrisye:

"Lirik yang dibuat Taufiq Ismail adalah satu-satunya lirik dahsyat sepanjang
karier, yang menggetarkan sekujur tubuh saya,
ada kekuatan misterius yang tersimpan dalam lirik itu, liriknya benar-benar
benar mencekam dan menggetarkan.

Dibungkus melodi yang begitu menyayat, lagu itu bertambah susah saya nyanyikan!

Di kamar, saya berkali-kali menyanyikan lagu itu. Baru dua baris, air mata saya membanjir.

Saya coba lagi. Menangis lagi. Yanti sampai syok!

Dia kaget melihat respons saya yang tidak biasa terhadap sebuah lagu.
Taufiq memberi judul pada lagu itu sederhana sekali, Ketika Tangan dan Kaki Berkata.

Lirik itu begitu merasuk dan membuat saya dihadapkan pada kenyataan, betapa tak berdayanya manusia ketika hari akhir tiba.

Sepanjang malam saya gelisah. Saya akhirnya menelepon Taufiq dan
menceritakan kesulitan saya. “Saya mendapatkan ilham lirik itu dari Surat Yasin ayat 65…” kata Taufiq.

Ia menyarankan saya untuk tenang saat menyanyikannya. Karena sebagaimana bunyi ayatnya, orang memang sering kali tergetar membaca isinya.

Walau sudah ditenangkan Yanti dan Taufiq, tetap saja saya menemukan kesulitan saat mencoba merekam di studio. Gagal, dan gagal lagi. Berkali-kali saya menangis dan duduk dengan lemas. Masya Allah !
Seumur-umur, sepanjang sejarah karir saya, belum pernah saya merasakan hal seperti ini.

Dilumpuhkan oleh lagu sendiri! Butuh kekuatan untuk bisa menyanyikan lagu itu. 
Erwin Gutawa yang sudah senewen menunggu lagu terakhir yang belum direkam itu, langsung mengingatkan saya, bahwa keberangkatan ke Australia sudah tak bisa ditunda lagi.

Hari terakhir menjelang ke Australia , saya lalu mengajak Yanti ke studio, menemani saya rekaman. Yanti sholat khusus untuk mendoakan saya.

Dengan susah payah, akhirnya saya bisa menyanyikan lagu itu hingga selesai.
Dan tidak ada take ulang! Ini hal yang tidak mungkin.

Karena saya sudah menangis dan tak sanggup menyanyikannya lagi.

Jadi jika sekarang Anda mendengarkan lagu itu,
itulah suara saya dengan getaran yang paling autentik, dan tak terulang!


Jangankan menyanyikannya lagi, bila saya mendengarkan lagu itu saja, rasanya ingin berlari!

Lagu itu menjadi salah satu lagu paling penting dalam deretan lagu yang pernah saya nyanyikan.

Kekuatan spiritual di dalamnya benar-benar meluluhkan perasaan.
Itulah pengalaman batin saya yang paling dalam selama menyanyi."


Penuturan Chrisye dalam memoarnya itu mengejutkan saya.

Penghayatannya terhadap Pengadilan Hari Akhir sedemikian sensitif dan luarbiasanya, dengan saksi tetesan air matanya. Bukan main.

Saya tidak menyangka sedemikian mendalam penghayatannya terhadap makna Pengadilan Hari Akhir di hari kiamat kelak.

Mengenai menangis ketika menyanyi, hal yang serupa terjadi dengan Iin
Parlina dengan lagu Rindu Rasul.
Di dalam konser atau pertunjukan, Iin biasanya cuma kuat menyanyikannya dua baris, dan pada baris ketiga Iin akan menunduk dan membelakangi penonton menahan sedu sedannya.

Demikian sensitif dia pada shalawat Rasul dalam lagu tersebut. 
Setelah rekaman Ketika Tangan dan Kaki Berkata selesai, dalam peluncuran
album yang saya hadiri, Chrisye meneruskan titipan honorarium dari produser
untuk lagu tersebut.

Saya enggan menerimanya. Chrisye terkejut. “Kenapa Bang, kurang?”.

Saya jelaskan bahwa saya tidak orisinil menuliskan lirik lagu Ketika Tangan dan
Kaki Berkata itu. Saya cuma jadi tempat lewat, jadi saluran saja.

Jadi saya tak berhak menerimanya. Bukankah itu dari Surah Yasin ayat 65, firman Allah SWT ?

Saya akan bersalah menerima sesuatu yang bukan hak saya.

Kami jadi berdebat. Chrisye mengatakan bahwa dia menghargai pendirian saya,
tetapi itu merepotkan administrasi.

Akhirnya Chrisye menemukan jalan keluar.
“Begini saja Bang, Abang tetap terima fee ini, agar administrasi rapi. Kalau
Abang merasa bersalah, atau berdosa, nah, mohonlah ampun kepada Allah. Allah SWT Maha Pengampun ‘ kan ?”

Saya pikir jalan yang ditawarkan Chrisye betul juga.
Kalau saya berkeras menolak, akan kelihatan kaku, dan bisa ditafsirkan
berlebihan. Akhirnya solusi Chrisye saya terima.
Chrisye senang, saya pun senang. 

----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Pada subuh hari Jum’at, 30 Maret 2007, pukul 04.08, penyanyi legendaris
Chrisye wafat dalam usia 58 tahun, setelah tiga tahun lebih keluar masuk
rumah sakit, termasuk berobat di Singapura.

Diagnosis yang mengejutkan adalah kanker paru-paru stadium empat.
Dia meninggalkan isteri, Yanti, dan empat anak, Risty, Nissa, Pasha dan Masha,

Semoga penyanyi yang lembut hati dan pengunjung masjid setia ini, tangan dan kakinya kelak akan bersaksi tentang amal salehnya serta menuntunnya memasuki Gerbang Hari Akhir yang semoga
terbuka lebar baginya.

Amin.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Ketika Tangan dan Kaki Berkata

Akan datang hari
Mulut dikunci
Kata tak ada lagi

Akan tiba masa
Tak ada suara
Dari mulut kita

Berkata tangan kita
Tentang apa yang dilakukannya
Berkata kaki kita
Kemana saja dia melangkahnya

Tidak tahu kita
Bila harinya
Tanggung jawab tiba

Rabbana
Tangan kami
Kaki kami
Mulut kami
Mata hati kami
Luruskanlah
Kukuhkanlah
Di jalan cahaya sempurna

Mohon karunia
Kepada kami
Hamba-Mu yang hina 

Kebaikan di TanganMu, Yang Maha Tahu

Kemarin, lelaki kekar itu memukul seseorang sekali hantam. Dan korbannya mati.
Semalaman dia gelisah, celingak-celinguk mengkhawatirkan dirinya. Si korban yang tewas adalah orang Qibthi, dari bangsa sang Fir’aun penguasa Mesir. Adapun dia dan teman-temannya dari keturunan Ya’qub, ‘Alaihissalam, suku pendatang yang diperbudak. Penguasa kejam itu bisa berbuat hal tak terbayangkan pada sahaya-sahaya yang melanggar aturan.
Lelaki dalam cerita di Surah Al Qashash itu, Musa namanya.
Dan pagi ini, kawan yang tempo hari dibelanya hingga dia tak sengaja menghilangkan nyawa kembali meminta bantuannya. Lagi-lagi teman sekampung yang memang pembuat onar itu bersengketa dengan seorang penduduk Lembah Nil. “Sungguh kamu ini benar-benar pencari gara-gara yang sesat perbuatannya!”, hardik Musa.
Tapi Musa sukar bersikap lain. Dicekaunya leher pria Qibthi itu, dan kepalan tangannya siap meninju. “Wahai Musa”, kata orang itu dengan takut-takut, “Apakah kau bermaksud membunuhku seperti pembunuhan yang kau lakukan kemarin?” Musa terhenyak. Rasa bersalah menyergapnya, keraguan melumuri hatinya. Cengkeramannyapun mengendur dan lepas. Melihat itu si calon korban tumbuh nyalinya. “Kau ini memang hanya bermaksud menjadi orang yang sewenang-wenang di negeri ini!”, semburnya.
“Hai Musa”, tetiba muncul seorang lelaki yang tergopoh dari ujung kota, “Para pembesar negeri di sisi Fir’aun sedang berunding untuk membunuhmu. Keluarlah segera!” Musa bimbang. “Pergilah cepat!”, tegas orang itu, “Sungguh aku ini tulus memberimu saran!”
Tanpa tahu jalan dan tanpa ada kawan, Musa bergegas lari. Dengan penuh was-was dan galau dia ayunkan kaki. Batinnya menggumamkan harap, “Semoga Rabbku memimpinku ke jalan yang benar”. Langkahnya lebar-lebar dan tak berjeda, pandangnya lurus ke depan tanpa menoleh. Dan setelah menempuh jarak yang jauh; memburu nafas hingga menderu, menguras tenaga hingga lemas, memerah keringat hingga lemah; inilah dia kini, sampai di sebuah mata air.
Negeri itu, nantinya kita tahu, bernama Madyan. Musa melihat orang berrebut berdesak-desak memberi minum ternak-ternak. Adapun di salah satu sudut yang jauh, dua gadis memegang kekang kambing-kambingnya yang meronta, menahan mereka agar tak mendekat ke mata air meski binatang-binatang itu teramat kehausan tampaknya.
Musa nantinya akan disifati sebagai lelaki perkasa oleh salah seorang gadis itu. Bukan tersebab dia menceritakan kisahnya yang membunuh dengan sekali pukul, melainkan karena dalam lapar hausnya, lelah payahnya, takut cemasnya, serta asing kikuknya; Musa sanggup menawarkan bantuan. Orang yang masih mau dan mampu menolong di saat dirinya sendiri memerlukan pertolongan adalah pria yang kuat.
Musa melakukannya.
Musa menggiring domba-domba itu ke mata air. Ketika dilihatnya ada batu menyempitkan permukaan situ, dia sadar inilah salah satu sebab orang-orang harus berdesak-desakan. Maka dengan sisa tenaga, diangkatnya batu itu, disingkarkannya hingga sumur itu lapang tepiannya. Lagi-lagi Musa membuktikan kekuatannya. Bahwa pria perkasa tidak mengharapkan imbalan dan ganjaran dari manusia.
Tanpa bicara lagi dan tak menunggu ungkapan terimakasih, Musa berlalu seusai menuntaskan tugasnya. Dia menggeloso di bawah sebuah pohon yang kecil-kecil daunnya. Rasa lelah melinukan tulangnya dan rasa lapar mencekik lambungnya. Kemudian dia berdoa, “Rabbi inni lima anzalta ilayya min khairin faqiir. Duhai Pencipta, Pemelihara, Pemberi Rizqi, Pengatur Urusan, dan Penguasaku; sesungguhnya aku terhadap apa yang Kau turunkan di antara kebaikan amat memerlukan.”
***
 Karena desakan hajat yang memenuhi jiwa; sebab keinginan-keinginan yang menghantui angan; kita lalu menghadap penuh harap pada Allah dengan doa-doa. Sesungguhnya meminta apapun, selama ianya kebaikan, tak terlarang di sisi Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Bahkan kita dianjurkan banyak meminta. Sebab yang tak pernah memohon apapun pada Allah, justru jatuh pada kesombongan.
“Kita dianjurkan untuk meminta kepada Allah”, demikian Dr. ‘Umar Al Muqbil menggarisbawahi tadabbur atas doa Musa setelah menolong dua gadis Madyan itu, “Baik hal kecil maupun hal besar”. Dalam kisah ini, sesungguhnya Musa yang kelaparan hendak meminta makanan. Cukup baginya, seandainya dia meminta jamuan kepada orang yang dia telah diberikannya jasa. Cukup baginya, sekiranya dia mengambil imbalan atas kebaikannya.
Tetapi Musa mengajarkan pada kita tiga hal penting dalam doanya. Pertama, bahwa hanya Allah yang layak disimpuhi kedermawananNya, ditadah karuniaNya, dan diharapi balasanNya. Mengharap kepada makhluq hanyalah kekecewaan. Meminta kepada makhluq hanyalah kehinaan. Bertimpuh pada makhluq hanyalah kenistaan.
Apapun hajat kita, kecil maupun besar, ringan maupun berat, remeh maupun penting; hanya Allah tempat mengharap, mengadu, dan memohon pertolongan.
Pelajaran kedua dari Musa adalah adab. Bertatakrama pada Allah, pun juga di dalam doa, adalah hal yang seyogyanya kita utamakan. Para ‘ulama menyepakati tersyariatkannya berdoa pada Allah dengan susunan kalimat perintah, sebagaimana banyak tersebut dalam Al Quran maupun Sunnah. Ia benar dan dibolehkan. Tetapi contoh dari beberapa Nabi dalam Al Quran menunjukkan ada yang lebih tinggi dari soal boleh atau tak boleh. Ialah soal patut tak patut. Ialah soal indah tak indah. Ialah soal adab.

Maka demikian pulalah Musa, ‘Alaihis Salam. Dia tidak mengatakan, “Ya Allah berikan.. Ya Allah turunkan.. Ya Allah sediakan..”. Dia merundukkan diri dan berlirih hati, “Duhai Rabbi; Penciptaku, Penguasaku, Penjamin rizqiku, Pemeliharaku, Pengatur urusanku; sungguh aku, terhadap apa yang Kau turunkan di antara kebaikan, amat memerlukan.”
Yang ketiga, bahwa Allah dengan ilmuNya yang sempurna lebih mengerti apa yang kita perlukan dan apa yang baik bagi diri ini daripada pribadi kita sendiri. Musa menunjukkan bahwa berdoa bukanlah memberitahu Allah apa hajat-hajat kita, sebab Dia Maha Tahu. Berdoa adalah bincang mesra dengan Rabb yang Maha Kuasa, agar Dia ridhai semua yang Dia limpahkan, Dia ambil, maupun Dia simpan untuk kita.
Maka Musa tidak mengatakan, “Ya Allah berikan padaku makanan”. Dia pasrahkan karunia yang dimintanya pada ilmu Allah yang Maha Mulia. Dia percayakan anugrah yang dimohonnya pada pengetahuan Allah yang Maha Dermawan. Diapun mengatakan, “Rabbi, sungguh aku, terhadap apa yang Kau turunkan di antara kebaikan, amat memerlukan.”
***
Gadis itu berjingkat dalam langkah malu-malu. Dia tutupkan pula ujung lengan baju ke wajah sebab sangat tersipu. Musa masih di sana, duduk bersahaja. Tepat ketika bayangan berkerudung itu menyusup ke matanya, lelaki gagah ini menundukkan pandangan.
“..Sesungguhnya Ayahku memanggilmu agar dia dapat membalas kebaikanmu yang telah memberi minum ternak-ternak kami..” (QS Al Qashash [28]: 25)
Allah yang merajai alam semesta memiliki jalan tak terhingga untuk memberikan karuniaNya kepada hamba. Baik untuk yang meminta maupun diam saja, yang menghiba maupun bermasam muka, yang yakin maupun tak percaya; limpahan rahmatNya tiada dapat dihalangi. Allah yang menguasai segenap makhluq memiliki cara tak terbatas untuk menghadirkan penyelesaian bagi masalah hambaNya. Allah yang menggenggam seluruh wujud, mudah bagiNya memilihkan sarana terbaik untuk menjawab pinta dan menghadirkan karunia.
Maka jangan pernah mengharap balasan itu datang dari orang yang pada kitalah budinya terhutang.
Tapi dalam kisah ini, Allah pilihkan jawaban doa dan balasan kebaikan melalui orang yang padanya Musa telah menghulurkan bantuan. Bukan sebab tiadanya jalan lain, melainkan karena Allah memang hendak menghubungkan Musa dengan mata air kebaikan yang telah disiapkanNya bagi tugas besarnya kelak. Sebuah keluarga terpilih, yang akan menjadi tempatnya mendewasa dan jadi titik tolak kenabian dan kerasulannya.
Untuk kita insyafi agar diri hanya menggantungkan asa kepada Allah ‘Azza wa Jalla, bahwa tak selalu Dia membalas kebaikan melalui orang yang menerima pertolongan kita. Hanya, mungkin saja itu terjadi. Sebab ada kebaikan yang Allah persiapkan di balik itu, berlipat-lipat, bergulung-gulung. Seperti yang dialami Musa.
“Berjalanlah di belakangku”, sahut Musa, “Dan berilah isyarat terhadap arah yang kita tuju.” Kita tahu, nanti Musa akan dijuluki sebagai ‘Yang Tepercaya’ karena ucapan ini. Sungguh memang, betapa tepercaya lelaki muda yang tetap menjaga pandangannya, pada gadis asing yang jelita, yang mendatanginya untuk kemudian berjalan hanya berdua.
Maka hari itu berubahlah hidup Musa. Sang pelarian dari Mesir menemukan tambatan hidup. Di rumah seorang bapak tua dari negeri Madyan, dia dijamu makan, dilingkupi perlindungan, diberi tempat tinggal, ditawari pekerjaan, kemudian nantinya dinikahkan, dan akhirnya diberi tugas kenabian.
Musa meminta makanan dengan tatakrama yang baik. Yaitu, dia pasrahkan kebaikan apapun yang hendak diberikan Allah padanya ke dalam cakupan ilmuNya. Musa meyakini bahwa apapun yang akan dikaruniakan Allah padanya adalah lebih baik dari semua dugaan dalam permohonannya. Maka Allah memberinya kelimpahan tak terbayangkan.
Demikianlah Allah, Rabb yang Maha Pemurah. Bahkan apa yang kita tak pernah memintanya, Dia tak pernah alpa memberikannya. Maka pada tiap doa, sesungguhnya kita diharap bersiap untuk menerima yang lebih baik, lebih banyak, dan lebih indah. Di dunia maupun akhirat. Sebab hanya di tanganNyalah segala kebaikan. Sebab Dialah yang Maha Kuasa atas segala sesuatu.
***
“Aku tak pernah mengkhawatirkan apakah doaku akan dikabulkan”, demikian ‘Umar ibn Al Khaththab pernah berkata. “Sebab setiap kali Allah mengilhamkan hambaNya untuk berdoa, maka Dia sedang berkehendak untuk memberi karunia.”
“Yang aku khawatirkan adalah”, lanjut ‘Umar, “Jika aku tidak berdoa.”
Takkan terasa manisnya kehambaan, hingga kita merasa bahwa bermesra pada Allah dalam doa itulah yang lebih penting dari pengabulannya. Takkan terasa lezatnya ketaatan, hingga kita lebih mencintai Dzat yang mengijabah permintaan kita, dibanding wujud dari pengabulan itu.
Inilah lapis-lapis keberkahan.
Seperti Musa, di lapis-lapis keberkahan kita berlatih untuk meyakini bahwa segala kebaikan ada dalam genggaman Allah. Di lapis-lapis keberkahann, kita juga belajar bahwa ilmu Allah tentang kebaikan yang kita perlukan adalah pengetahuanNya yang sempurna, jauh melampaui kedegilan akal dan kesempitan wawasan kita. Maka di antara jalan berkah adalah, rasa percaya yang diwujudkan dalam tatakrama.
Di lapis-lapis keberkahan, kita mengeja iman dan adab itu dalam doa-doa. Dan inilah firmanNya yang Maha Mulia menutup renungan kita dengan lafal doa yang penuh makna:
“Katakan: duhai Allah, pemilik kerajaan maharaya, Engkau berikan kekuasaan kepada sesiapa yang Kau kehendaki, dan Engkau cabut kekuasaan itu dari siapa saja yang Kau kehendaki. Engkau muliakan sesiapa yang Kau kehendaki, dan Engkau hinakan siapa jua yang Kau kehendaki. Di tanganMulah segala kebaikan. Sesungguhnya, Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu. Engkau memasukkan malam ke dalam siang dan Kau benamkan siang ke dalam malam. Engkau mengeluarkan yang hidup dari yang mati, dan Kau seruakkan yang mati dari yang hidup. Dan Engkau mengenugrahi rizki pada siapapun yang Kau kehendaki tanpa terbatasi.” (QS Ali ‘Imran [3]: 26-27)
oleh : salimafillah.com

Rabu, 15 April 2015

Kenyataan yang tidak sesuai dengan harapan #Tukin

Awal tahun 2015 menjadi memori terpenting dalam hidup. Anak ke-3 : Aimy Nida Shabria, lahir ke dunia. Diiringi dengan harapan yang membuncah akan take home pay yang akan naik signifikan. "Menjadi kaya mendadak" kata media massa saat itu. Terbayang lah banyak rencana untuk masa depan anak-anak. Dan terselip pula niatan untuk membantu salah satu keluarga yang berada pada titik "super-miskin".

Januari, Februari, dan awal Maret berjalan bersama banyaknya issu/draft tabel-tabel kenaikan THP signifikan itu. Tibalah, tanggal 19-20 Maret dimana tabel kenaikan THP sudah bukan menjadi issu/misteri. Tabel yang tertera pada Peraturan Presiden no.37 th 2015, menyesakkan dada dan menghapus semua bayangan dan niatan indah itu. Kenaikan THP itu hanyalah omong kosong dan janji manis para penguasa. Innalillahi wa inna ilaihi rajiun. Semua kehendak hanya milik Allah. Janji manis menteri dan Dirjen Pajak pun hanyalah penyemangat palsu. Media massa dan Masjid Shalahuddin kantor pusat pun menjadi saksi sejarah akan kezhaliman mereka. Innalillah....

Kerja keras pada tahun 2014 seolah hanya menjadi sejarah puncak karir/kinerja, dan bayangan demotivasi selalu hadir tiap hari. Ya Rabb, kejam sekali mereka. Bermanis mulut di depan kamera dan diatas mimbar masjid, seolah tidak takut akan dosa berdusta. Bayangan untuk memberikan hidup layak bagi keluarga dan melunasi hutang yang sudah mencapai angka 7,5 juta per bulan itu, pupus sudah...

Kehidupan kembali berjalan seperti sedia kala, tanpa perubahan yang diharapkan. Kembali memacu jantung tiap bulan, di setiap tanggal 9 dan tanggal 20 dengan mengucap "semoga bisa melewati tanggal 30 dengan selamat"....kalimat itu selalu terucap tiap bulan, dengan harapan setiap tanggal 9 tidak ada keluhan istri akan kurangnya susu dan popok, dan di setiap tanggal 20 keatas berharap tetap bisa memberi uang nafkah untuk istri dan membeli susu-popok untuk ketiga anak batita...

Ya Allah, harus kah hamba mengais rejeki dengan meng-ojek di malam hari tanpa bercerita kepada istri, seperti yang dilakukan teman-teman di KPP PMA kalibata sana...
Ya Allah, harus kah hamba kembali mengais rejeki dari satu tempat kursus ke tempat kursus lain, dari Senin-Minggu...
Ya Allah, harus kah hamba jual rumah dan mobil untuk tabungan masa depan anak-anak dan membantu "keluarga super miskin" itu......dengan mengontrak rumah seumur hidup sama seperti "keluarga super miskin" itu....
Ya Allah, sabarkan lah hati hamba, istri hamba, dan anak-anak hamba, dalam menerima kenyataan pahit ini....kenyataan yang jauh dari harapan dan janji manis para penguasa...





Selasa, 28 Oktober 2014

A Fighter in Your Heart

Mentari tak pernah menangis, walau dia terpisahkan dengan apa yang dicintainya. Dia tetap menanti masa, ketika waktu mulai memendar sepi, dan kembali dia terperangkap dalam kerinduan kepada rembulan

Mentari tak pernah marah, walau dedaunan tak membalas sinarnya. Esok dia tetap akan bersinar lagi, walau mungkin ada masa dia merasa bosan dan menawarkan sedikit mendung. Tapi seperti biasanya, dia tetap kembali untuk dedaunan

Mentari tak mengambil hati, ketika orang mengeluh akan panasnya, dan kembali merindu hadirnya ketika musim hujan tiba.

Waktu tak menunggu siapa-siapa, sedangkan kita terus memerangkap diri dalam cerita usang.

karena hidup itu adalah tentang perjuangan, terjatuh dan kembali bangkit lagi. Setiap orang terlahir dengan jiwa pejuang dalam dirinya. Kita hanya perlu menatap jauh ke dalam lubuk hati, apakah kita telah membunuh petarung itu.

Kamu sakit, kamu hanya perlu bertarung melawan sakitmu.

Kamu gagal, kamu hanya perlu bertarung melawan gagalmu.

Kamu tak punya siapa-siapa, kamu hanya perlu bertarung untuk belajar keindahan kesendirian.

Orang mencemoohmu, kamu hanya perlu bertarung melawan amarahmu.

Karena hidup adalah perjuangan. Hingga kelak waktu kita habis, kita telah mampu menjaga amanah Allah sebaik-baiknya.

Sampaikan kepadaku kawan, kamu tak pernah menyerah...

Allahu a'lam

Hadiah Untukmu

Dalam bahasa inggris, ada salah satu kata yang mempunyai dua makna yang berbeda dalam bahasa Indonesia Kata itu adalah "present". Kata tersebut bisa bermakna saat ini/sekarang, bisa juga bermakna hadiah.

Jadi hidup ini, saat ini adalah hadiah buat kita.

Seseorang bisa meratapi masa lalunya, namun tak seorang pun yang bisa merubahnya. Seseorang bisa merancang masa depannya, namun tak seorang pun yang bisa tahu pasti apakah dia akan bisa melakukan apa yang direncanakan.

Tapi saat ini, ketika kita masih menghembuskan napas, menikmati sejenak kehidupan dan mensyukuri, itulah yang benar-benar kita jalani.

Bukan masa lalu ataupun masa depan.

Banyak hal yang berubah dalam hidup kita. Banyak orang yang pergi dan meninggalkan kita, dan ada juga yang datang - Karena hidup salah satunya adalah kisah ditinggalkan dan meninggalkan- Namun tahukah kamu ada seseorang yang tak pernah benar-benar meninggalkanmu.

Dia adalah dirimu sendiri.

Kawan, kehidupan ini adalah hadiah untukmu

Dan dirimu, adalah satu-satunya yang tak akan meninggalkan dirimu sendiri.

Saudaraku, janganlah memaksa dirimu terlalu keras. Nikmatilah setiap momen dalam hidupmu. Jadilah mentari, bukan lilin.

Tahukah kamu lilin?

dia menerangi orang lain, tapi pada akhirnya dia sendiri akan habis.

Dia membahagiakan orang lain, tapi ketika dia kehabisan cahaya kebahagiaannya, maka dia tak bisa lagi memberi cahaya tersebut pada orang lain.

Sementara mentari bersinar terang tanpa perlu takut kehabisan cahaya.

Hidup hanyalah sementara, dan kita tak tahu kapan kita mati. Yang perlu kita persiapkan apa bekal kita saja.

Saudaraku, dalam hidup itu bukan masalah win dan lose. Ketika kamu membahagiakan orang yang kau cintai, maka kamu juga harus bahagia terlebih dahulu. Kebahagiaan adalah masalah win dan win. Semua menang dan bahagia

Bila kamu tak punya apa-apa dalam hidupmu, bukan berarti kamu harus menyesalinya. Selama punya kesempatan dan kesehatan, maka tetaplah bersyukur.

Tahukah kamu apa yang paling berharga bagi orang yang sakit keras walau dirinya dipenuhi oleh harta berlimpah? Kesehatan.

Kesehatanmu adalah hal yang penting. Kesehatan bagaikan bunga yang indah di taman jiwamu, bila engkau tak merawatnya, maka dia akan layu. Saat itu kau akan menyesal telah mengabaikannya.

Saudaraku, ada saat kita terjatuh. Maka kita hanya perlu mengingat bahwa hidup itu bagaikan roda, tak selamanya kita di bawah. Bangkitlah. Lupakan masa lalu, dan hiduplah dengan kekuatan terbesarmu.

Kekuatan terbesar yang kita miliki adalah tauhid, iman kepada Allah.

Saudaraku, ketika engkau menangis, maka ingatlah bahwa engkau pernah tertawa.

Ketika engkau menderita, maka engkau juga pernah bahagia.

Dan selalulah mengingat masa apa yang kita jalani adalah hadiah.

Dan sebuah hadiah menjadi indah bila kita mensyukuri pemberian tersebut dan mempergunakan dengan sebaik-baiknya.

Allahu a'lam

Karena Dunia Tak Selebar Daun Kelor

"Kapalnya sudah pergi. Kalian terlambat." Kalimat itu membuatku menggerutu dalam hati. Perjalanan dari Malang menuju Tanjung Perak seperti menjadi sia-sia. Apalagi kami sudah membeli tiket untuk pulang ke kota kelahiranku setelah melakukan pendakian selama seminggu di Semeru.

Seharusnya malam ini saya bersama ketiga sahabat, Tony, Tobo, dan Pardi sudah berada di atas kapal menuju ke kampung halaman. Mungkin sambil menikmati desir angin malam yang bermanja-manja menyelimuti tubuh kami. Tapi tidak, waktu tidak menunggu siapa-siapa. Telat sedetik ataupun sejam sama saja. Artinya kami harus menyusun rencana baru.

"Ada sih kapal. Tapi besok." Kata penjual tiket.

Kami saling berpandangan.

"Bagaimana kalau kita menginap di sini saja malam ini?" Kata Tony.

"Boleh." Kata Tobo mendukung Tony.

Memang sepertinya tidak ada pilihan lain.Menggembel di pelabuhan adalah pilihan yang paling pas buat kami saat ini. Tapi mungkin juga bukan pilihan yang pas. Kondisi pelabuhan yang penuh aliran manusia, membuatku membuka mata kewaspadaanku. Barang-barang disusun rapi terjangkau dari pandangan.

“Dulu waktu berkunjung ke sini, saya sempat bertemu dengan teman sedaerah. Saya akan mencarinya bersama Tobo, siapa tahu dia masih di sini. Mungkin kita bisa menginap di tempatnya. Kalian di sini saja.” Tony menceritakan rencananya.

Aku dan Pardi mengiyakan saja. Ide tersebut terdengar masuk akal saat ini.

***

Angin malam mulai berhembus-hembus manja di tubuhkami. Beralaskan matras, aku merebahkan diri sambil menatap langit-langit.Malam seperti bercerita padaku saat ini.

Tony telah kembali. Dengan kabar orang yang dicari tiada ketemu. Jadi kami sepakat untuk tidur saja di depan loket penjual tiket. Tak mengapa, aku mulai menikmati momen ini. Menjalani kehidupan malam di pelabuhan perak. Menjadi gembel, tidur beralaskan bumi, beratapkan langit.

“Milo hangat mas, kopi hangat. Yang hangat-hangat.” Suara seorang ibu terdengar di telingaku. Kami mengalihkan pandangan ke arahnya.

Seorang wanita berumur sekitar 35-an tahunberdiri di hadapan kami. Dia membawa termos, minuman instan dan gelas-gelas plastik. Dengan gigih dia menawarkan jualan minumannya. Walau kami telah berusaha menolaknya. dia tetap menawarkan lagi.

Mendadak aku merasa kasihan kepada wanita itu.Bayangkan, seorang wanita di tengah malam berada di pelabuhan untuk mencari rezeki. Kerasnya kehidupan bagi banyak orang tidak membuat mereka menyerah.Malah mereka semakin berusaha keras untuk berjuang dan tak menyerah.

Aku merotasikan pandanganku. Tingkah manusia bercerita tentang makna hidup kepadaku. Begitu banyak manusia berada di pelabuhan ini. Mereka semua mempunyai penderitaan hidupnya masing-masing. Namun aku bisa melihat, bagi sebagian orang penderitaan kehidupan bukanlah masalah,namun masalahnya adalah bagaimana kita memutuskan untuk menghadapinya.

Sebagian orang memilih untuk berbuat menyerah,dan sebagian lagi memilih untuk menyerah.

Dan mereka yang memilih untuk berjuang, salah satunya adalah wanita di hadapanku.

“Pesan satu mbak. Milo hangat.” Kataku.Teman-teman yang lain ikut memesan.

Wanita itu dengan cekatan menyajikan pesananku. Dalam hatiku aku merasa damai. Walau malam ini kami mengalami masalah, namun selalu ada hikmah yang dapat kami petik tentang kehidupan.Karena memang dunia tak selebar daun kelor, dan masalah dalam hidup pun tak selalu sebesar seperti apa yang kita bayangkan. Pandanglah jauh, maka kita dapat mengerti banyak orang yang mengalami masalah yang lebih besar dalam hidup kita.